Gelegar Sumpah Patih Wilyo

Petrus Singa Bansa, Ulu Aik, Patih Jaga Pati, Ad Gentes, Lumen Gentium, Wilyo,

Gelegar Sumpah Patih Wilyo
Gelegar Sumpah Patih Wilyo.

PATIH JAGA PATI : Sumpah. Adalah tekad, janji setia, suatu hal diucapkan yang wajib ditunaikan.


Palapa misalnya, adalah Sumpah Mahapatih Gadjahmada yang mashyur. Akan halnya Patih Jaga Pati, apa yang menjadi Sumpahnya?


“Tidak membaca dari literatur mana pun. Hanya ada di dalam alam pikiran. Juga muncul dari kedalaman palung hati yang terdalam. Saya bersumpah kepada diri sendiri, agar suku bangsa yang mendiami Kalimantan, terutama wilayah kerajaan Ulu Aik, berdaulat dalam tiga hal,” terang Patih Jaga Pati (Wilyo).


Adapun lengkap gelar Patih Wilyo adalah: Patih Jaga Pati Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua Alexander Wilyo , S. STP, M. Si. 

Apa bunyi 3 Sumpah Patih Jaga Pati?
  1. Daulat dalam hal budaya.
  2. Daulat dalam hal ekonomi.
  3. Daulat dalam hal politik. 

Daulat yang ke-3, sebenarnya yang paling pokok daripada daulat yang lainnya. Daulat budaya abadi. Jika membuka lembar sejarah dunia, maka daulat budaya yang terjitu dari daulat yang lain-lain. Kebudayaan menginvasi segala aspek kehidupan manusia. 


Sadar akan “kuasa budaya” –akan dinarasikan pada tulisan yang berikutnya– Patih Jaga Pati menghadirkan kembali adat budaya Dayak masa lalu dalam suasana dan konteks kekinian.


Sebagai representasi artefak masa lalu Kerajaan Ulu Aik, yang kini rajanya bersisilah ke-51 (Petrus Singa Bansa), Patih membangun di kawasan rumah pribadinya di kota Ketapang sebuah pesanggrahan kepatihan yang lengkapnya bernama: Kepatihan Jaga Pati Laman Sembilan Domong Sepuluh Kerajaan Ulu Aik.


Ada rasa bangga berada di kawasan kepatihan. Bahan kayu belian dominan yang menyangga seluruh tumpuan, tiang utama, galang, dan seluruhnya adalah kayu. Juga dindingnya. Kecuali atap pesanggrahan yang dari bahan modern.


Ada nuansa magis di dalamnya. Namun, menyenangkan, tidak menakutkan. Magnet yang menarik kita, masuk ke alam masa lalu. Dengan upacara adat yang sakral, memanggil para leluhur untuk menyertai dan membantu dalam berbagai kesempatan, terlebih dalam kesesakan.


Gelegar Sumpah Patih Wilyo
Patih Jaga Pati.

Upacara terus berlangsung khidmat dan meriah. Jantung kota Ketapang pada siang 5 Desember 2022, seakan berdetak kencang. Mengembus napas kehidupan baru. Saya mendengar, dalam bahasa lokal, mantra-mantra yang didaraskan dengan jelas. Menggetarkan jiwa. Berdiri bulu roma.


Tak ubahnya, sebenarnya, menyebut nama-nama leluhur dan para pendahulu masa lalu –orang-orang besar dan kudus– seperti halnya Litani Para Kudus dalam liturgi Gereja Katolik.


Tersaji di depan, dalam lingkaran talam, berbagai persembahan. Ayam panggang tak ketinggalan. Juga  beras kuning, dan tuak. Air diperciki, disertai doa. Tak ubahnya pastor memberkati rumah/ bangunan baru.


Kami pun mulai menginjakkan kaki, masuk ke pelataran pesanggrahan kepatihan. Didahului Patih Jaga Pati dan Raja Ulu Aik ke-51.

Pemimpin upacara tiada hentinya mendaraskan mantra. Meski peserta mayoritas penganut Katolik, semua merasa bahwa Tuhan yang Esa-lah yang disembah dan melindungi semesta. 


Itulah yang dalam jargon Gereja Katolik disebut “inkulturasi”. Sesuai dengan amanat Dekrit Konsili Vatikan II, terutama Ad Gentes (Kepada Bangsa-bangsa) dan Lumen Gentium (Terang Bangsa-bangsa) yang menekankan kehadiran Tuhan di sini dan di tempat ini dalam wajah adat dan budaya lokal. Isi anggur (tuak) sama, hanya kirbat berbeda. 


Kepada Tuhan yang Esa. Namun, warga kepatihan yang kini mayoritas pemeluk Katolik, tidak (pernah) meninggalkan ritual dan tata cara Katolik dalam berbagai kegiatannya. Upacara adat beda dengan upacara liturgi Gereja. Namun, satu juga di dalam niat serta tujuannya.


Tujuan hidup manusia terarah pada asal mula kehidupan, Sang Pencipta. Jika kita tahu tujuan, maka jalan apa pun yang ditempuh, pasti sampai pada tujuan itu. 

Maka jangan permasalahkan jalan yang berbeda, jika tujuan satu dan sama. 


Demikianlah takdir sejarah, yang harus dilakoni Patih Jaga Pati. Ia mengemban amanah untuk menghadirkan kembali adat budaya lokal dalam konteks kekinian. 


Gelegar Sumpah Patih Jaga Pati membahana ke mana-mana, terutama di kawasan kepatihan Kerajaan Ulu Aik. Seturut takdir sejarah, sosok muda energik yang smart lagi cerdas ini mewakili seluruh kaumnya;  membuat Dayak berdaulat di tanah warisan miliknya sendiri.


Dalam setiap tarikan napas serta gerak langkah sang patih, mengembuskan nilai universal dan untuk semua. 


Ia berpikir dan berjuang melintas batas, sekat, dan golongan. Bukan hanya untuk Ketapang, melainkan untuk umum, khususnya suku bangsa Dayak. (Rangkaya Bada)

LihatTutupKomentar
Cancel