Ladang Orang Dayak

ladang, Dayak, kearifan tradisional, hukum adat, Pergub

  

Yakobus Kumis, Sekretais Jenderal Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) pada orasi dalam upaya membebaskan peladang tradisional Dayak di Sintang (2019) menyatakan begini tentang ladang. 

"Jika berladang dianggap merusak lingkungan, dan dikenai sansi hukum, kami tidak terima. Berarti sama saja dengan menyatakan nenek moyang kami dari dulu-dulu juga salah! Pokoknya, kami Dayak gak terima!"

Selama Pandemi Covid-19, tidak ada di Kalimantan kabut asap tebal. Juga peristiwa terbakarnya hutan atau lahan baik secara alami maupun oleh perbuatan manusia (Karhutla). Padahal, orang Dayak tetap berladang. Apa artinya?

Praktik berladang telah dipolitisasi. Dayak sedang dimarginalisasi. Dan divictimisasi di tanah warisan miliknya sendiri. 

Pernah sekali peristiwa. Ketika sedang membakar lahan, bukan membakar hutan, helikopter segera datang, berputar-putar, meraung-raung di udara. Lalu menyiram lahan ladang yang dibakar, dengan zat cair.

"Api lekas mati. Entah apa bahan zat cair itu? Aneh pokoknya. Basah terus olehnya, sehingga tidak bisa kering," kata penduduk.

Di suatu kecamatan di Sanggau. Pernah seorang peladang murka ketika ia sedang membakar lahan, helikopter menyiram lahannya. Maka ia tembakkan heli itu dengan senapan lantak. Atas perbuatan itu, si petani dihukum. Helikopter tidak. Malah kembali ke pangkalan dengan rasa tak berdosa.

Ketahuilah bahwa berladang, bagi orang Dayak,  bukan hanya pernak-pernik kultivasi padi semata, melainkan juga ada sisi ritual dan seni budaya di sana. Sayang, gara-gara membakar lahan perladangan, agar didapat tanah bakar dan humus yang subur, sering orang Dayak dituduh merusak lingkungan.

Atas perjuangan, juga perlawanan terbit Pergub yag membolehkan masyarakat berladang. Termasuk membakar lahan. Gubernur Tarmiji memang oke. Artinya, Negara mengakui bahwa ladang merupakan bagian dari kehdupan Dayak.

Sejak dahulu kala orang Dayak arif bijaksana mengelola alam dan lingkungan. Yang merusak alam dan lingkungan Kalimantan bukan cara dan proses berladang ala orang Dayak, melainkan tindak perusak HPH, perusahaan tambang, dan oknum pelaku  illegal  logging.  Dr. Yansen TP, M.Si. dalam Seminar Internasional Kebudayaan Dayak di Bappenas (2019) membuktikan, di tempat orang Dayak tinggal --di Borneo-- terdeteksi tetap hijau. Zona merah malah di luar pemukiman orang Dayak.

Ladang adalah tumpuan hidup semua orang, terutama orang Dayak. Dapat dibuat senarai panjang, betapa ladang sangat vital dan menjadi kata kunci dalam kehidupan umat manusia. Misalnya: ladang padi, ladang gandum, ladang jagung, ladang tebu, dan ladang minyak. Bahkan, kerap pula kantor, atau pekerjaan, disebut sebagai ladang karena dari sana akan dituai hasil.

Selama Pandemi Covid-19, tidak ada di Kalimantan kabut asap tebal. Juga peristiwa Karhut. Padahal, orang Dayak tetap berladang. Apa artinya?

Bagi manusia Dayak yang ditengarai populasinya di Kalimantan berjumlah sekitar 8 juta itu, ladang bukan semata-mata lahan tempat manusia mengais rezeki dan menabur harapan untuk hidup. Lebih dari itu, ladang

Orang Dayak yang arif-bijaksana, tidak pernah sekali pun menajiskan kata “ladang”. Bahkan, ladang dianggap keramat oleh orang Dayak sebab ladang terbukti mampu menjadi sumber penghidupan bagi mereka. Karena itu, dari mulai melihat-lihat lahan yang akan dijadikan ladang (ngabas poya), hingga usai panen (gawai panen), selalu ada upacara yang berkaitan dengan ladang.

Tidak syak lagi, melihat siklus pesta yang ada hubungannya dengan ladang, dapat disimpulkan bahwa orang Dayak memiliki penghormatan khusus pada ladang (tanah) sebagai  mata rantai kebersatuan dengan alam semesta. Ini juga bukti bahwa orang Dayak amat memerhatikan keharmonisan hubungan dengan Yang di Atas dan dengan seluruh alam. Jadi, menghormati dan menghargai ladang, sama saja dengan menghormati dan menghargai Si Pemberi dan Asal Mula Kehidupan.

Budaya Berladang orang Dayak TIDAK MERUSAK LINGKUNGAN. Orang Dayak mafhum siklus dan sifat-sifat alam. Karena di Borneo tidak ada gunung api, mereka membakar lahan ladang agar jadi abu, arang, dan tanah bakar yang menyuburkan tanaman.

Waktu membakar lahan ladang, mereka marka, dan dijaga. Sedemikian rupa, sebab jika api merembet le luar lahan ladang, kena hukum adat. 

Melihat proses dan cara orang Dayak berladang, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang merusak hutan Kalimantan bukan orang Dayak, tapi para pengusaha HPH dan perkebunan skala besar. Bagaimana mungkin orang Dayak merusak hutan, jika hutan menjadi bagian hidup dan sumber penghidupan? *

LihatTutupKomentar
Cancel