Dayak Tidak dari Mana pun, Melainkan Asli Borneo

Dayak tidak dari mana pun juga asalnya. Dayak bukan dari Yunan. Dayak asli pemangku Pulau Borneo, Niah, uji karbon, C-5, Dayak pemangku pulau Borneo,

Dayak menjaga sekaligus memelihara tanah titipan nenek moyang. Ilustrasi: Pagu Kalvin.

PATIH JAGA PATI : Dayak tidak dari mana pun juga asalnya. Bukan dari Yunan. Apalagi dari belahan bumi lain. 

Dayak asli pemangku sekaligus pewaris  Borneo, insula terbesar ketiga dunia, dengan luas 
743.330 km²

Bahwa ada 3 penulis menyatakan Dayak dari Yunan, musykil untuk dibuktikan. Kita dapat mengajukan pertanyaan ini kepada mereka:
  1. Mana yang menjdi bukti artefaknya?
  2. Di mana kampung Cina/pecinan yang mengindikasikan pendaratan dan pemukiman pertama serta keberlanjutannya? 
  3. Bagaimana migran dari Yunan datang ke insula yang kemudian, pada era pengaruh Hindu-India abad ke-5 M disebut dengan "Varuna-dvipa"?
  4. Bagaimana migran dari Yunan datang ke insula yang kemudian, pada era pengaruh Hindu-India abad ke-5 M disebut dengan "Varuna-dvipa"?
Jika pertanyaan 1 - 4 tidak dapat dijawab, dan dibuktikan meyakinkan secara akademik, maka bukan-sejarah. Namun, hanya sebatas dongeng dan mitos saja.

Ciri imigran dari Cina: selalu ada Pecinan, monumen, dan artefaknya 

Ciri imigran dari Cina: selalu ada Pecinan, monumen, dan artefaknya.  Contohnya: Singkawang, Sanggau, Pemangkat, Monterado, Budok, dan Rara (Bengkayang). Minimal ada nama rupa bumi khas dialek Cina yang datang, misalnya Hakka seperti di Bengkayang, Monterado, dan Sanggau. Jika tidak ada ciri itu maka: dongeng belaka!

Singkawang, misalnya, terkenal dengan perayaan Cap Go Meh yang meriah. Sementara Pemangkat memiliki arsitektur dan monumen yang mencerminkan keberagaman budaya. Monterado di Bengkayang dan Budok adalah contoh lain dari daerah yang mencerminkan kekhasan budaya dan sejarah imigran Tionghoa.

Penting untuk diingat bahwa setiap komunitas memiliki karakteristik uniknya sendiri. Beberapa daerah mungkin memiliki pengaruh Hakka atau dialek Cina lainnya, sementara yang lain mungkin memiliki kekayaan sejarah yang berbeda. Meskipun tidak semua daerah memiliki ciri khas yang dijelaskan, bukan berarti cerita atau sejarah tersebut belaka. Keberagaman budaya dan sejarah imigran Tionghoa di Indonesia dapat bervariasi di berbagai lokasi, dan cerita setiap komunitas tetap berharga.

Jika sejarah, maka harus bisa menjawab: Siapa migran dari Cina pertama yang menjejakkan kaki di pulau Borneo? Tahun berapa imigran dari Yunan itu mendarat di Borneo? Di mana tempat mereka mendarat? Bagaimana peristiwanya? Di mana kini situsnya?

Baca Manusia Dayak Dan Kawasan Hijau Borneo

Ajukan pertanyaan itu kepada mereka. Pasti kelimpungan menjawab, apalagi membuktikannya. Jika 4 wajib sejarah tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, berdasar bukti sejarah, maka ia: dongeng, legenda, cerita nina bobo' semata!

Uji karbon: Dayak telah ada sejak 40.000 tahun lalu

Hasil uji karbon (C-5) secara saintifik diketahui Dayak telah ada di pulau Borneo sejak 40.000 tahun lalu. 

Penelitian Blust tentang prasejarah menyatakan bahwa bumi Borneo sebelum deglasiasi telah ada penghuni yang kemdian hari disebut "Dayak".

Tidak syak lagi bahwa Gua Niah adalah bukti eksistensi manusia penghuni Borneo pada 40.000 tahun silam. Gua Niah sudah cukup sebagai bukti baik dari sisi ilmiah (uji karbon) maupun dari sisi historiografi bahwa penghuni Borneo asli, bukan dari mana pun (Masri, 2022). 

Ilustrasi di bawah adalah penampakan Gua Niah. Lokus bersejarah yang membuktikan bahwa nenek moyang suku bangsa Dayak penghuni asli bumi Borneo. Kini penghuni Gua Niah adalah etnis Iban.

Penampakan Gua Niah. Sumber: Charles Tyler (1993).


Lalu ada Edwin Gomes, Evans H.N. Ivor, King, Hogendorp sebagai pustaka penyangga sejarah. Bahwa Dayak telah menghuni Borneo sejak 40.000 tahun silam.

Sejak bila Dayak dikenal dunia sebagai suku-bangsa?

Labeling "Dajak" pertama kali

Jawaban atas pertanyaan itu bervariasi, bergantung pada tonggak yang dijadikan sebagai patoknya. 

Dari berbagai tonggak-sejarah, agaknya kita bersetuju bahwa terbentuknya identitas pertama penduduk asli Varuna-dvipa, yang kemudian hari oleh pelancong dan penulis Eropa disebut “Borneo”, pada tahun 1757.

Baca Pameran Dan Pentas Seni Budaya Dayak IX Kabupaten Ketapang 2023

Labeling “Dajak” pertama kali dicetuskan kontroleur Banjarmasin, J.A. Hogendorf bertahun 1757 untuk meyebut manusia asli Borneo secara kolektif. 

Istilah itu sepadan dengan kosa kata Belanda “binnenland”, yang berarti: penduduk asli di sini di tempat ini sejak zaman semula jadi, sebagai lawan dari pendatang. 

Kemudian, disebutlah penduduk asli Borneo sebagai: binnenlander, mengacu ke orang hulu, tinggal di daratan bukan pesisir, orang udik, atau penghuni Borneo sejak zaman semula jadi. 

Itulah citarasa Dayak pada sense awal mula. Suatu askripsi sebenarnya. Yakni labeling yang mengarah ke pemilahan etnis-etnis di pulau terbesar ke-3 dunia setelah Greenland dan Nugini (Papua).

Dayak tidak dari mana pun juga asalnya. Bukan dari Yunan. Apalagi dari belahan bumi lain. Dayak asli pemangku Pulau Borneo. Bahwa ada 3 penulis menyatakan Dayak dari Yunan, musykil dibuktikan: Di mana kampung Cina/pecinan? Siapa migran dari Cina pertama yang menjejakkan kaki di pulau Borneo? Tahun berapa imigran dari Yunan itu mendarat di Borneo?

Kita masih dapat meneruskan labeling lain tentang Dayak. David Jenkins dan Guy Sacerdoty dalam Far Eastern Economic Review (1978) menggambarkan orang Dayak sebagai: the legendary wild man of Borneo (Manusia Borneo yang legendaris).

Lambut, Profesor Dayak Berhati Lembut | Ensiklopedia Profesor Dayak 3

Sementara itu, Jan Ave dan Victor King (1985) melukiskan penduduk asli Borneo sebagai: the people of the weaving forest (orang dari hutan yang meratap). Ini sungguh penggambaran masa pada itu yang sebenarnya cukup membuat gerah andaikan orang Dayak telah seperti saat ini, telah mahir membaca dan menulis selain melek dalam hal literasi. 

Labeling: dari kutuk menjadi berkat

Kini hutan-hutan Borneo malah memberikan kehidupan dan penghidupan, sumbangan terbesar bagi dunia, termasuk negeri asal Ave dan King. 

Kemudian  Carl Bock, seorang naturalis dan penjelajah asal Norwegia, melabeli orang Dayak sebagai: head hunters of Borneo (1881). 

Pada bagian tertentu buku, kita melihat bahwa apa yang dilabeli oleh Bock ini, sebenarnya, adalah bagian dari labeling yang sesungguhnya. Bahkan mungkin menjadi labeling pertama dalam sejarah keDayakan sampai dengan hari ini. 

Hutan Borneo memberi kehidupan

Buku Bock yang ditulis berdasarkan vorurteil (isi kepala) dan sudut pandang barat, menjadi awal dari citraan Dayak yang menyabar ke penjuru dunia.

Kita sat ini dapat melabeli orang Dayak masa kini dengan: manusia penghuni pulau yang diciptakan Tuhan sambil tersenyum, indah pada waktunya, terdesak ke darat ketika sungai-sungai dan pesisir jadi pusat kebudayaan dan ekonomi di masa kerajaan, dan di masa perkebunan dan pertambangan menjadi kaya berkat label, tepatnya saya menyebut "askripsi" sebagai: darat, udik, orang ulu, binnenlander; dan berbagai askripsi masa lalu yang minor namun kini jadi berkat.

Andaikata jika di masa lalu, orang Dayak tidak bermukim di darat, mana ada mereka punya tanah warisan --termasuk tanah adat-- begitu melimpah? Minimal, sebuah keluarga Dayak --ini di desa-desa,  punya 2 hektar tanah!

Sejarah kemudian bisa berbalik arah. Yang dahulunya kutuk, kini jadi berkat. Yang dahulu hina, jadi bangga. Menjadi orang hulu, udik, membuat penduduk asli bumi Borneo memiliki lahan luas --ulayat adat-- lebih dahulu kepemilikannya dibandingkan kemerdekaan RI. Hal yang dahulu labeling, bernada menghina, kini jangan coba-coba.

Daulat Penduduknya

Populasi Dayak sedunia dengan sekitar 600 subsuku (bukan hanya 405 menurut peneliti dahulu) tidak kurang dari: 8 juta jiwa.

Baca 3 Sumpah Patih Jaga Pati, Raden Cendaga Alexander Wilyo, S. STP, M. Si.

Pada Era Orde Baru, dipaksakan politik kekuasaan dari pusat Program Transmigrasi. Dayak tidak kuasa untuk menolak waktu itu seperti pada ketika ini. Kondisinya berbeda dengan pada ketika ini, di mana Dayak bisa demo menyatakan ketidaksetujuannya.

Sebagai program, Transmigrasi hanya baik 10% untuk penduduk. Bayangkan saja! Unuk transmigran disediakan fasilitas. Tanah diberian sertifikat. Sementara penduduk asli, tidak diperlakukan serupa.

Selebihnya, Program Transmigrasi semakin memarjinalkan Dayak. Contohnya, di Kalimantan Timur, mayorotas penduduknya non-Dayak. Hal ini berakibat luar biasa efek bergulingnya ke politik, ekonomi, sosial, dan sendi-sendi kehidupan. Inilah dampak lambat-laun itu.

Wajib mayoritas

Maka Dayak secara populasi, wajib mayoritas di tanah warisan nenek moyangnya yang dipertahankan sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Program KB telah semakin mengkerdilkan etnis Dayak. Sementara di Bogor misalnya yang tak jauh dari Jakarta, satu pasangan suami isteri anak bisa lebih dari 3.

Melacak perjalanan sejarah Kalimantan dari masa ke masa sungguhlah mengasyikkan. Pulau Kalimantan, yang merupakan pulau terbesar ketiga di dunia, memiliki sejarah yang kaya dan kompleks yang tercermin dalam berbagai alias yang digunakannya. 

Salah satu referensi sejarah awal yang menarik adalah catatan dari Poerbatjaraka, di mana Tanjungpura menjadi sorotan. Namun, jejak sejarah pulau ini meluas jauh melebihi itu.

Dalam perjalanan waktu, Kalimantan telah menjadi pusat peradaban, perdagangan, dan eksplorasi. 

Menurut Sumpah Palapa, bagian dari naskah Carita Parahyangan yang memuat janji Prabu Hayam Wuruk, raja Majapahit pada abad ke-14, terdapat rujukan mengenai Kalimantan: "... Tanjungpura pula." Hal ini mengisyaratkan bahwa Tanjungpura memiliki peran penting dalam konteks geopolitik saat itu.

Varuna-dvipa di masa lampau telah menjadi magnet bagi penjelajah, pedagang, dan penjajah dari berbagai belahan dunia. 

Kekayaan alamnya, seperti rempah-rempah dan hasil hutan, membuatnya menjadi tujuan yang menarik bagi kekuatan Eropa dalam ekspansi kolonial mereka. Berbagai negara seperti Belanda, Inggris, dan Kerajaan Brunei terlibat dalam persaingan untuk menguasai wilayah dan sumber daya Kalimantan.

Variasi nama Kalimantan

Dinamika pulau Kalimantan juga tercermin dalam variasi nama yang melekat padanya. Nama-nama seperti Borneo yang sering digunakan saat ini berasal dari istilah-istilah sejarah dan geografis yang digunakan oleh para penjajah dan pelaut Eropa. 

Nama-nama sebelumnya, termasuk Kalimantan dan Tanjungpura, mengandung makna yang lebih dalam, merujuk pada warisan budaya dan sejarah yang kaya dari pulau ini.

Seiring berjalannya waktu, Kalimantan terus mengalami transformasi. Pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan perubahan lingkungan telah membentuk wajah pulau ini secara signifikan. 

Industri modern, seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, telah memberikan dampak besar pada lingkungan dan masyarakat setempat. Namun, kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dan pelestarian warisan budaya semakin meningkat, menciptakan gerakan untuk menjaga integritas pulau ini di tengah perubahan zaman.

Baca Belajar Jadi Pemimpin Muda Dari Hayam Wuruk

Dalam mengamati dinamika Kalimantan dari masa ke masa, kita tidak hanya menyaksikan perubahan fisik dan sosial pulau ini. Tetapi juga menyaksikan bagaimana warisan sejarahnya terus hidup dalam nama-nama, budaya, dan identitasnya. 

Pulau yang mengundang rasa ingin tahu dan kagum ini, terus memanggil kita. Untuk memahami perjalanan panjangnya yang sarat akan makna dan nilai.

Prasejarah Borneo: Penelitian dan sumbangsih Blust 

Blust, seorang sejarawan dan ilmuwan, memainkan peran kunci dalam penelitian awal prasejarah Borneo.

Fokus utamanya melibatkan manusia pertama yang mendiami Borneo, topografi wilayah, peran bijih besi (sebagai elemen kunci dalam perkembangan peradaban), dan hubungannya dengan studi linguistik.

Dalam menyelidiki manusia pertama di Borneo, Blust mencoba membongkar misteri sejarah awal pulau tersebut. Dengan memahami interaksi manusia dengan lingkungannya, dia merinci peran penting topografi Borneo dalam membentuk pola migrasi dan perkembangan masyarakat di pulau itu.

Peta Borneo zaman kuno dan kini: dari tegak makin kian condong.


Sejarah penggunaan besi dalam dunia Austronesia telah lama menjadi teka-teki. Meskipun bukti arkeologis untuk pengolahan besi tidak lebih tua dari 200-500 SM (Bellwood 1997: 28), data linguistik perbandingan menunjukkan pengetahuan tentang besi yang jauh lebih kuno (Blust 1976). 

Seperti yang dicatat oleh Blust (1999), terjadi ketidaksesuaian antara dua garis bukti ini tidak dapat dijelaskan sepenihnya, karena pengetahuan tentang besi tidak selalu berarti pengetahuan tentang pengolahan besi.

Blust meneliti kata serapan yang mencerminkan perubahan signifikan dalam penggunaan besi oleh masyarakat Austronesia di Kalimantan Barat daya pada dua atau tiga abad pertama SM. Meskipun spesifik area "Kalimantan Barat daya” tidak dijelaskan secara tepat, namun diyakini berkaitan dengan penyebaran bahasa Malayo-Chamic di antara Sungai Sarawak dan Kapuas, dan meluas hingga Tanjung Puting atau sekitarnya.

Penting untuk dicatat bahwa perhatian Blust pada bijih besi tidak hanya sebatas pada aspek teknologisnya, tetapi juga pada dampaknya sebagai tonggak peradaban. Dalam kerangka ini,

Blust menyelidiki bagaimana pengetahuan tentang besi dan penggunaannya membentuk perkembangan masyarakat Borneo, memberikan landasan untuk eksplorasi lebih lanjut dalam perkembangan teknologi dan ekonomi di pulau tersebut.

Pun pula, Blust membawa dimensi linguistik ke dalam konteks prasejarah Borneo. Melalui studi bahasa dan kata serapan, dia memberikan pandangan yang mendalam tentang hubungan antara perubahan linguistik dan perkembangan budaya di Borneo.

Pemahaman ini memungkinkan kita untuk meresapi tidak hanya kehidupan materi, tetapi juga warisan intelektual dan linguistik yang ditinggalkan oleh masyarakat prasejarah Borneo.
Dengan penelitiannya yang menyeluruh dan pendekatan lintas-disiplin, Blust memberikan kontribusi berharga dalam menggambarkan lanskap sejarah dan budaya Borneo pada masa prasejarah. Karya-karyanya menjadi fondasi penting bagi penelitian lebih lanjut dan pemahaman yang mendalam tentang perjalanan panjang manusia dan peradaban di pulau ini.

Borneo lebih tua dari Formosa

Sejarah penggunaan besi oleh masyarakat Austronesia di Taiwan pada 3500-4000 SM telah menjadi misteri panjang. Meskipun bukti arkeologis menunjukkan pengolahan besi baru dimulai 200-500 SM, data linguistik menunjukkan pengetahuan besi yang jauh lebih kuno.

Borneo, dengan potensi peran penting dalam transisi dari pengetahuan besi menjadi pengolahan besi, memunculkan pertanyaan menarik. Kualitas bijih besi yang luar biasa di Borneo, seperti yang diakui oleh penulis kolonial Inggris pada 1830-an, memberikan konteks unik bagi perkembangan teknologi besi.

Penggunaan “Jas Merah” sebagai simbolisme mencerminkan kemungkinan inovasi teknologi pengolahan besi lebih awal di Borneo dibandingkan dengan wilayah lain di Asia Tenggara kepulauan.

Bukti arkeologis

Bukti arkeologis untuk kegiatan pra-pengolahan besi, khususnya di sekitar Santubong di delta Sungai Sarawak pada abad ke-10 hingga ke-13, menghadirkan tanda tanya. Meskipun situs-situs ini sebelumnya dianggap sebagai tempat ekstraksi bahan lokal oleh penulis kolonial, penafsiran ini dipertanyakan oleh Christie (1988), yang melihatnya sebagai praktik yang sejalan dengan populasi asli Dayak.

Meski demikian, tantangan utama adalah kurangnya data arkeologis pada periode awal produksi besi di Borneo. 

Data linguistik memberikan gambaran yang mengesankan, menghubungkan inovasi teknologi pra-pengolahan besi di wilayah barat daya Borneo dengan komunitas linguistik tertentu pada dua atau tiga abad pertama SM.

Dengan ini, sejarah dan linguistik bersama-sama menciptakan narasi tentang perjalanan panjang pergeseran pengetahuan tentang besi menjadi keahlian pengolahan besi di Tanah Borneo, sebuah jejak yang seharusnya tidak terlupakan.

Buku yang Sedikit Menyingkap Tabir Sejarah Koloni Hindu-India di Varunadvipa (Kalimantan). Inilah buku yang sekilas, namun sangat  sangat telak, membahas kolonisasi Hindu India di Borneo. Sebuah catatan mengenai jejak pengaruh Hindu-India yang memberi nama Kalimantan, sebelum Borneo oleh orang bule, dengan nama: Varunadvipa.

Varunadvipa, disebut demikian, karena sebuah insula yang dikitari, dan berlimpah ruah dengan seribu sungai. Dijaga  serta dipelihara oleh dewi air yang mulia.

Pulau Borneo, yang merupakan rumah bagi suku bangsa Dayak yang populasinya tidak kurang dari 8 juta jiwa. Umum mengetahui bahwa telah ada jejak-sejarah pengaruh Hindu-India di Muara Kaman, Kalimantan Timur, yang ditengarai dibuat pada sirka ujung abad 4 atau abad 5 Masehi.

Salah satu aspek yang menarik dari sejarah Borneo adalah kolonisasi Hindu yang mempengaruhi wilayah ini sejak zaman kuno. 

Varunadvipa: Nama Borneo era pengaruh Hindu India

Salah satu aspek menarik dari sejarah Hindu di Borneo adalah penggunaan nama Varunadvipa untuk merujuk pada pulau ini.

Varunadvipa adalah istilah dalam bahasa Sanskerta yang dapat diterjemahkan sebagai “Pulau Varuna.” 

Nama ini mencerminkan pengaruh budaya Hindu yang kuat di wilayah ini pada masa lalu. Prasasti-prasasti kuno mengungkapkan penggunaan nama ini, menunjukkan pentingnya identitas Hindu dalam sejarah pulau ini.

Bukti paling awal tentang koloni Hindu di Borneo ditemukan dalam prasasti-prasasti kuno yang berasal dari sekitar tahun 400 Masehi. 

Prasasti-prasasti ini memberikan informasi berharga tentang struktur sosial dan politik saat itu serta praktik keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Borneo.

Salah satu contoh prasasti ini mengacu kepada raja Mula-varman, yang merupakan putra dari Asva-varman dan cucu dari raja Kundunga. Prasasti-prasasti ini mencatat bahwa Mula-varman melakukan banyak korban Hindu, menggarisbawahi pentingnya agama Hindu dalam kehidupan masyarakat Borneo pada masa itu. Prasasti-prasasti ini juga memberikan petunjuk tentang organisasi politik dan sistem pemerintahan di wilayah tersebut.

Tulisan prasasti Yupa sebagai berikut:

srimatah sri-narendrasya; kundungasya
mahatmanah; putro svavarmmo vikhyatah;
vansakartta yathansuman; tasya putra
mahatmanah; trayas traya ivagnayah; tesan
trayanam pravarah; tapo-bala-damanvitah;
sri mulavarmma rajendro; yastva
bahusuvarnnakam; tasya yajnasya yupo
yam; dvijendrais samprakalpitah.

Atinya:
Putra Mahatmanah Raja yang Mulia Sri-narendra Kundungasya, yang terkenal sebagai Svavarmma, sebagai pendiri wangsa yang terkenal seperti Suman, dan sebagai putra Mahatmanah mereka yang mendirikan keturunan tiga puluh tiga yang berjasa dan kuat dalam penyucian diri. Inilah yupa dari yajna yang mulia yang dipersembahkan oleh para brahmana terkemuka.

Agama Hindu tidak hanya mempengaruhi aspek keagamaan di Brunei pada masa lalu, tetapi juga membentuk budaya dan identitasnya. Salah satu contoh yang menonjol adalah penggunaan gelar “Seri Bhagwan” oleh Sultan Brunei, yang artinya “Tuhan Yang Maha Kuasa.” 

Gelar ini mencerminkan pengaruh agama Hindu dalam struktur kekuasaan dan otoritas politik di Brunei. Ini adalah contoh konkret bagaimana agama Hindu berdampak pada institusi-institusi penting di negara tersebut.

Selain itu, seni dan arsitektur Hindu juga berpengaruh yang kuat dalam seni dan budaya Brunei. Kuil-kuil Hindu kuno dan relief-reliefnya, yang masih dapat ditemukan di beberapa tempat di Brunei, adalah bukti nyata dari warisan ini. Mereka menggambarkan cerita-cerita epik dari mitologi Hindu dan menunjukkan sejauh mana agama ini telah meresap dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Brunei pada masa lalu.

Meskipun agama Hindu tidak lagi menjadi mayoritas di Brunei dan banyak masyarakatnya menganut agama Islam saat ini, pengaruh Hindu masih terasa dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

Nama-nama tempat, tradisi-tradisi tertentu, dan bahkan beberapa praktik keagamaan masih memiliki akar dalam warisan Hindu. Ini adalah bukti keberlanjutan pengaruh agama ini selama berabad-abad.

Kolonisasi Hindu di Borneo, atau Varunadvipa, adalah bagian penting dari sejarah Brunei yang sering kali terlupakan. Bukti-bukti arkeologis dan prasasti-prasasti kuno mengungkapkan pengaruh yang kuat dari agama Hindu dalam membentuk budaya dan identitas Brunei pada masa lampau. Meskipun agama ini tidak lagi menjadi agama mayoritas di negara ini, pengaruhnya masih terasa hingga hari ini.

Dalam buku  pengarang menekankan pentingnya memahami kontribusi budaya dan ilmiah India dalam sejarah dunia. Dalam konteks kolonisasi Hindu di Borneo, kita dapat melihat salah satu contoh penting dari bagaimana budaya India dan agama Hindu telah memberikan kontribusi penting dalam membentuk sejarah dan identitas suatu wilayah. Bahasan yang paling telak tentang Varunadvipa, nama Kalimantan sebelum Borneo, ditemukan pada halaman 298 buku ini.

Penting bagi kita untuk menghargai dan memahami sejarah yang kompleks ini. Memahami pengaruh agama Hindu di insula yang kemudian, pada zaman penjajahan dinamakan “Borneo” membantu kita menghargai keragaman budaya dan agama yang ada di pulau terbesar dunia. Sekaligus mengungkapkan bagian yang sering kali terlupakan dari sejarahnya.*)

Data tentang buku ini:
ISBN: 9789383142347, 9383142340 Page count: 420 Format: Paperback Publisher: Ramakrishna Math, Hyderabad Language: English.

Politik kebudayaan tingkat tinggi

Hasil uji karbon, batu bertulis, dan prasasti Yupa adalah bukti historis yang mendukung genral statement (kebenaran umum) judul narasi ini. Sebaliknya, pernyataan bahwa Dayak yang keluar dari pulau dianggap bukan Dayak menunjukkan nuansa "politik kebudayaan" yang hendak membangun opini umm bahwa asal-usul etnis Dayak bukan asli Borneo.

Penting untuk diingat bahwa sejarah dan identitas etnis dapat memiliki interpretasi yang bervariasi, dan pandangan ini mungkin mencerminkan sudut pandang tertentu. Kecenderungan untuk menekankan keberlanjutan budaya sebagai elemen identitas etnis dapat menjadi tema umum dalam sejarah dan antropologi.

Penting diketahui bahwa konsep identitas etnis bersifat kompleks dan sering kali melibatkan berbagai faktor, termasuk sejarah, budaya, bahasa, dan pengalaman sosial. 

Perdebatan seputar asal-usul dan identitas etnis seringkali mencerminkan kompleksitas hubungan antara kelompok-kelompok manusia di berbagai wilayah.

Kini sebagian besar sejarawan, cerdik cendikia, akademisi, peneliti, dan penulis telah setuju seperti judul narasi ini: Dayak tidak dari mana pun, melainkan asli Borneo.

Hati-hati dengan framing dan post truth ini

Sebagai closing statement: Hati-hati dengan framing, atau klaim yang menyatakan, "Dayak dari Yunan". Lambat laun, pernyataan menyesatkan ini (meski tidak bisa dibuktikan dari sisi ilmiah, misal: siapa tokohnya/ migran? dari mana mereka berasal persisnya? tahun berapa? di mana mendaratnya? di mana Pecinannya? apa peristiwanya?), berpotensi menjadi post truth: Maka jangan bilang kalian (Dayak) suku asli, indigenous people, pewaris sah, pulau Borneo! Kalian pun pendatang, seperti kami!"

Apa mau seperti itu? Jangan sampai sejarah kalah! Maka : Dayak harus menulis dari dalam!

(Masri Sareb Putra, M.A. --berdasarkan hasil riset pustaka, kajian dokumen, dan 2 minggu ngendon membaca buku dan mendalami ratusan pustaka terkait topik di Perpustakaan Nasional, Jalan Medan Merdeka, Jakarta.)

LihatTutupKomentar
Cancel