Munaldus alias Liu Fan Fo Luncurkan Roman Terbarunya

Munaldus, Liu Ban Fo, Sastrawan, Dayak, Tapang Sambas




Roman terbaru karya Munaldus alias Liu Fan Fo kini dalam proses percetakan oleh penerbit CV Lembaga Literasi Dayak di Jakarta. Adapun ilustrator, seklaigus desainer cover menarik mata dan hati orang ini: Ajinata. Seorang desainer sampul buku stylist, dengan citarasa gaya: semi natural, romantis-naturalis.

Menurut rencana, roman ini akan "dipakai" dan diluncurkan pada Inkopdit AGM pada 12-14 Juni  2024 di Pontianak.

Bildung roman

Menurut Masri Sareb Putra, angkatan 2.000 dalam sastra Indonesia, "Dalam dunia sastra, dikenal  9 genre novel. Karya Munaldus ini termasuk bildung roman. Yakni novel perkembangan, yang mengisahkan masa kanak-anak, dewasa, hingga pada ketika ini." 

Bildung roman, menurut Masri, "Adalah autobiografi fiktif. Saya berani katakan demikian, karena mengenal nama pena Liu Ban Fo, bahwa novel ini semacam biografinya. Saya tahu persis di mana pondoknya itu, di pinggir kota Sekadau, Kawasan Munguk Ransa, di mana "Pak Munal" menghabiskan hari-hari masa tuanya, berkebun, sembari tetap menari-narikan kata dan merajut kalimat menjadi buku. Kaualitas karya Munal tak diragukan. Ia masuk senarai sastrawan Dayak di Wikipedia," terang Masri.

Sinopsis

Dalam roman terbarunya ini, Munaldus, dengan nama samaran, Liu Ban Fo, menceritakan kisah-kisah hidup yang ia alami sendiri. Ia seorang pemimpi. Pemimpi yang tak gampang menyerah. Roman ini kalau dibaca dengan saksama adalah lanjutan kisah yang diceritakan dalam roman yang ia tulis beberapa tahun lalu dalam Mimpi Dunia Lain yang tergolong laris. 

Ulang tahun yang ke-60 dianggapnya sangat spesial. Ulang tahun-ulang tahun sebelum itu biasa-biasa saja, seperti hari-hari lain. Ia tidak begitu hirau. Setelah usianya melewati 60, ia memasuki transisi kehidupan yang baru sebagai lansia.

Itulah alasan mengapa ultah ke-60 itu menjadi penting dalam perjalanan hidupnya. Kita tahu pada usia 60, rata-rata pegawai atau karyawan pensiun.  

Munaldus.

Jadi, beberapa hari sebelum memasuki masa lansia, ia mengurung diri sendirian di pondoknya di Mungguk Ransa, Sekadau. Ia memutar ulang seluruh lintasan perjalanan hidup selama enam dekade itu. 

Tentu saja sebagai orang dari keluarga yang sangat miskin, ia berjuang sehabis-habisnya untuk keluar dari kondisi itu. Itu juga yang dinasihati oleh orang tuanya berulang kali. Ia mematuhi pesan orang tuanya. 

Menurut penilaiannya, kehidupan keluarganya mulai dari minus 5 dan berakhir dengan nilai 8 pada usianya yang ke-60. Lumayan berhasil, bukan? 

Setelah berhasil menjadi seorang sarjana, ia kembali ke kampung halamannya, Tapang Sambas dan Tapang Kemayau, dengan maksud anak-anak muda dari kampung asalnya mau meniti jalan yang pernah ia tempuh. Ia mengenalkan sebuah kendaraan yang akan membawa mereka keluar dari zona terbelakang itu, CU. Keling Kumang. 

Waktu itu usianya baru 30 tahun. Setelah 30 tahun kepeduliannya kepada kampung halaman itu, CU Keling Kumang telah begitu maju dan bahkan sudah menjadi konglomerasi koperasi yang dikenal luas.

Ia memeriksa seluruh lintasan kehidupan selama enam dekade itu dan hasil perenungannya dituangkan dalam buku ini. Bersama Gerakan Keling Kumang (GKK), di mana CU. Keling Kumang sebagai lokomotifnya, ia masih memimpikan sebuah masa depan yang mungkin dapat terealisasi kelak baik ketika ia masih hidup atau sudah mati. 

Semuanya ia tuliskan dalam roman ini dan ikuti ceritanya … (X-5)

LihatTutupKomentar
Cancel