Literasi Dayak : Mulai dari Kudungga dengan Inskripsi Batu Yupa (1)
Dokumentasi penulis.
Bundel surat-surat politik Oevaang Oeray. Salah satu dokumen sejarah literasi Dayak.
Abstrak:
Literasi.
Apa gerangan frasa, atau istilah itu? Apakah sama nikmat, seperti halnya "terasi", atau belacan --kata orang Dayak?
Untuk mengetahui dari mana, dan sejauh mana, perkembangan dan tingkat Literasi Dayak masa ke masa, kanal media dan informasi kita ini PATIH JAGA PATI meminta Masri Sareb Putra, M.A., yang dikenal sebagai pegiat literasi dan peneliti melakukan trasi, semacam riset kecil sejarah literasi Dayak.
Masri menemukan bahwa pada pengujung abad ke-4 Yesus Kristus, tepatnya di situs sejarah Muara Kaman (wilayah Kalimantan Timur pada ketika ini), Literasi Dayak telah menggeliat, menancapkan tonggak sejarahnya lewat inskripsi Batu Yupa yang pada waktu itu didirikan Mulawarman, putra raja lokal, Kudungga.
Oevang Oeray, Gubernur Kalimantan Barat (1960 - 1966) berpengaruh di masanya, meski tidak menulis dan menerbitkan buku, namun putra Kayan Mendalam (Kapuas Hulu) ini menulis surat-surat politik yang menyentak. Masri Sareb Putra telah membaca habis surat-surat politik OO itu, dan memotretnya sebagai salah satu dokumen sejarah literasi Dayak.
Literasi Dayak kemudian sempat tenggelam. Untuk berabad kemudian, pada tahun 1971, terbit buku Tantang Djawab Suku Dayak yang dikonversi dari disertasi Fridolin Ukur.
Tjilik Riwut wajib disebut dalam bangun lanskap Literasi Dayak dengan sejumlah bukunya yang monumental, antara lain Sedjarah Kalimantan.
Literasi Dayak berjalan tetap, meski bagai jalannya semut, setelah skripsi Vedastus Rikcy diterbitkan menjadi buku berjudul Pandangan dan Sikap Hidup Suku Daya (Dokpen MAWI, 1980). Lalu muncul Korrie Layun Rampan, putra Dayak Benuaq menyentak jagad literasi nasional dengan novelnya Upacara yang memenangkan sayembara Roman DKI pada tahun 1974.
Era 1980-an, muncul para penulis Dayak yang tulisannya dimuat di Kompas, antara lain: Masri Sareb Putra, Amon Stefanus, Thomas Tion, dan Alkap Pasty. Ketika IDRD mencuat, awal tahun 1980-an, muncul para penulis berbakat seperti: Djuweng, Niko Andas Putra, Julipin, dan Paulus Florus. Para penulis dan pengarang Dayak juga dilahirkan Tribune Borneo, antara lain: Alexander Mering, Tanto Yakobus, dan lain-lain. Budi Miank lahir dan dibesarkan oleh Pontianak Post. Literasi Dayak boleh dikatakan produktif yang mewarnai Kalimantan dengan terbitnya majalah Kalimantan Review. Namun, setelah kantornya dilalap api, IDRD kian pudar. Institut Dayakologi masih meneruskan kegiatan literasi, meski sinarnya tak sebenderang IDRD. Muncul para penulis dalam wadah Aruh Sastra Kalimantan Selatan, Komunitas Literasi Dayak di Kalimantan Tengah, dan sebagainya.
Liu Ban Fo, nama pena Munaldus M.A., pantas dicatat sejarah literasi Dayak. Solo dan bersama kawan-kawan, ia berhasil menembus Elex Media Komputindo, salah satu sisters company penerbit besar negeri ini, kelompok Kompas Gamedia. Buku Liu Ban Fo, antara lain yang patut kita hafal di dalam kepala, yakni: Kidung di Tampun Juah (2017), Mimpi Dunia Lain(2018), dan Lelaki Tua dan Pondoknya (2024). Masri memberi label pengarang dari Tapang Sambas ini: "penulis prolifik" karena ragam sastranya yang khas, yakni: bildung roman --kisahan tentang diri dan dunia sekitarnya yang diracik dan ditulis dengan kaidah-kaidah sastra. Oleh itu, Liu Ban Fo tersenaraikan sebagai salah satu sastrawan Dayak negeri Pancasila. Siapa saja yang tersenaraikan dalam sastrawan Dayak, silakan kunjungi: Sastrawan Dayak
Memasuki era digital, bermunculan media digital Dayak. Tina Lie mendirikan komunitas Bumi Menulis. Agustina dengan Belantara Borneo. Lio Bijumes dengan Krayan News. Masri Sareb Putra dengan Grup Borneopedia. Alexander Mering dengan Borneo Globe yang luar biasa. Juga Budi Miank dan Pitalis Mawardi turut ambil bagian dalam media digital ini. Arif Ezragen seorang Dayak yang menulis topik keDayakan di Wikipdia dengan cukup teliti dan rigit pula patut dicatat kiprahnya. Sedangkan Dr. Yansen lebih hebat lagi, launching di Jakarta media digitalnya Ytprayeh.com dan membangun secara monumental Batu Ruyud Writing Camp dengan inskripsinya pada 2022 yang berkibar sampai Amerika Serikat karena pernah digunakan berliterasi 12 warga Amerika.
Kini ada setidaknya 4 Penerbit resmi Dayak yang tercatat anggota Perpustakaan Nasional, yaitu: PT Sinar Bagawan Khatulistiwa, Penerbit CV Lembaga Literasi Dayak, Penerbit Sandu Institut, dan Penerbit Pabayo Putra Perkasa. Penerbit Dayak ini telah mengeluarkan ISBN hampir 1.000 ISBN.
Tahun 2023, ada sebuah WAG yang menyatukan hampir semua intelektual Dayak berpengaruh dan para penulis dalam grup WA Literasi Dayak.
Portal media digital ini akan menurunkan serial tulisan "Literasi Dayak" mulai hari ini (19 Juli 2024).
Selamat mengikuti!
Dari kata "literacy", diindonesiakan secara lurus menjadi: literasi. Makna sebenarnya literasi adalah: melek, terampil, ngeh, sadar, mampu, cakap, punya kemampuan --dalam bidang tertentu.
Macam dan bidang literasi
Literasi, yang disepakat bersama, mengenal setidaknya ada 6 bidang.
Menurut pertemuan Davos di World Economic Forum, literasi merupakan kunci fundamental untuk menghadapi tantangan global saat ini. Konsep literasi telah berkembang jauh dari sekadar kemampuan baca-tulis dasar. Terdapat enam dimensi utama dari literasi yang diakui, yaitu:
- Literasi Baca-Tulis Dasar: Kemampuan membaca dan menulis yang menjadi fondasi bagi pembelajaran dan integrasi sosial.
- Numerasi: Kemampuan untuk memahami dan menggunakan angka dalam konteks kehidupan sehari-hari dan profesional.
- Literasi Sains: Kemampuan untuk memahami dan mengevaluasi informasi serta konsep ilmiah, memungkinkan partisipasi dalam diskusi ilmiah dan pengambilan keputusan yang berbasis bukti.
- Literasi Digital: Kemampuan untuk menggunakan teknologi digital, mengakses, mengevaluasi, dan berpartisipasi dalam dunia digital yang terus berkembang.
- Literasi Keuangan: Kemampuan untuk memahami dan mengelola informasi keuangan pribadi, termasuk pemahaman terhadap investasi, tabungan, dan manajemen keuangan.
- Literasi Budaya dan Kewarganegaraan: Kemampuan untuk memahami dan menghargai berbagai budaya, serta menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan terlibat aktif dalam kehidupan politik dan sosial.
Pentingnya Dayak melek semua bidang literasi
Dalam konteks masyarakat Dayak, literasi menjadi penting karena tidak hanya memengaruhi kemampuan seseorang untuk berpartisipasi dalam ekonomi dan politik, tetapi juga mempengaruhi dinamika budaya dan identitas mereka.
Melalui peningkatan literasi yang komprehensif, masyarakat Dayak dapat lebih aktif dalam mengelola dan menjaga warisan budaya mereka, serta mengambil bagian dalam pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
Partisipasi Dayak dalam literasi politik, misalnya, akan memungkinkan mereka untuk berperan aktif dalam proses demokrasi dan pembentukan kebijakan yang mencerminkan kebutuhan dan aspirasi lokal mereka.
Dengan demikian, meningkatkan literasi dalam berbagai dimensi ini bukan hanya tentang memberdayakan seseorang secara pribadi, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang kuat, berpengetahuan, dan mampu beradaptasi dengan perubahan global yang cepat. -- Bersambung.