The History of Dayak: Jangan mengaku Dayak jika Tidak Tahu Sejarah Dayak

Dayak, Borneo, asli, warisan leluhur, first nation, Gua Niah, tidak dari mana pun, autokton, Dayak pewaris Borneo

Jangan mengaku Dayak jika tidak tahu sejarah Dayak.
Jangan mengaku Dayak jika tidak tahu sejarah Dayak.

Sejarah Dayak bukan semata deretan fakta, tanggal, dan peristiwa. Ia adalah klaim atas eksistensi yang menegaskan keberadaan Dayak sebagai pewaris sah dan pemilik asli Borneo, pulau ketiga terbesar di dunia

Dalam setiap catatan, baik yang tersurat maupun yang belum sempat ditulis, tersimpan pergulatan panjang antara ingatan dan pengingkaran, antara yang dituturkan di rumah panjang dan yang diabaikan dalam arsip kolonial.

Mencatat sejarah Dayak berarti mengembalikan hak narasi kepada yang berhak. Sebab selama berabad-abad, banyak kisah besar tentang Borneo ditulis tanpa menyebut nama Dayak, seakan hutan, sungai, dan gunung yang mereka rawat tidak memiliki penjaga. Padahal di balik setiap sungai yang dinamai, setiap tembawang yang diwariskan, dan setiap adat yang dijaga, ada pernyataan diam namun kuat: “Kami ada, kami berasal dari sini.”

Dengan demikian, penulisan sejarah Dayak bukan sekadar upaya akademik, melainkan tindakan kultural dan moral. Ia adalah proses menegakkan kembali martabat dan identitas, menautkan masa silam dengan masa depan. 

Dalam setiap kisah yang dihidupkan kembali, Dayak menegaskan bahwa Borneo bukan hanya tanah tempat mereka berpijak, tetapi juga roh dan rumah asal peradaban yang telah lama berakar di dalam diri mereka yang teruji dan terbukti secara akademik dari eksavasi, uji karbon, tes DNA situs Gua Niah, Miri, yang menunjukkan moyang suku-bangsa Dayak telah ada dan berada sejak 40.000 tahun lalu.

Stabilitas loci dan stabilitas populi, kemudian menjadi mata-rantai yang melengkapi kesinambungan sejarah Dayak sebagai the first nation, atau indigenous people of Borneo.

Jangan mengklaim diri Dayak jika tak tahu atau tak mau tahu sejarah Dayak dari masa ke masa. Identitas bukan sekadar nama belakang, bukan pula label etnis yang melekat otomatis sejak lahir. Ia adalah kesediaan untuk menengok jejak panjang leluhur: dari Gua Niah dan Batu Yupa, dari perjalanan nenek moyang yang menaklukkan sungai-sungai besar Borneo, dari pantang larang yang menjaga harmoni, dari ibrat yang dibacakan sebelum matahari sempurna terbit. 

Menjadi Dayak berarti memahami bahwa sejarah bukan arsip mati, melainkan nafas panjang yang kita warisi dan perlu kita rawat.

Sebab tanpa pengetahuan itu, klaim identitas menjadi rapuh. Kita mudah terseret arus zaman, tercerabut dari akar, tergoda menjadi peniru di tanah sendiri. 

Mengaku Dayak tanpa mengenal sejarahnya ibarat berdiri di rumah panjang tanpa tahu tiang apa yang menyangga lantainya. Kita bisa berdiri, tetapi tak punya pijakan makna. 

Memahami sejarah Dayak bukan sekadar kewajiban moral. Ia adalah panggilan untuk kembali menegakkan martabat diri, agar kita tidak tercerabut dari akar yang membentuk siapa kita hari ini. Tanpa pengetahuan masa lalu, identitas hanya menjadi slogan kosong, mudah digoyah, dan siap dipungut siapa saja yang merasa berhak mengklaimnya.

Lebih dari itu, memahami sejarah adalah bentuk belarasa terhadap leluhur, terhadap tanah Borneo, dan terhadap masa depan yang ingin kita bangun bersama. 

Di situlah tersimpan tekad agar orang Dayak benar-benar kembali menjadi tuan di bumi sendiri dengan kesadaran, pengetahuan, dan keberanian menafsirkan masa depan dari pijakan sejarah yang kokoh.


Penulis: Ke Kae

edisi soft cover rp 169.000
edisi hard cover: rp 200.000 
Bubu babon Dayak
Buku Babon Dayak. Pesan ke Anyarmart: +62 812-8774-3789

LihatTutupKomentar
Cancel