Kho Ping Hoo : Karakter Para Penggila Cersilnya

Khi Ping Hoo, cersil, Asmaraman, CV Gema, Mertokusuman, Solo, Blair

PATIH JAGA PATI : Katakan Anda seorang penggila Kho Ping Hoo! Maka saya akan mafhum siapa Anda.

Karakternya pasti mirip. Seperti saya. Ia sedikit suka iseng, pintar, imajinasi tinggi, pandai bergaul, pribadi memesona, banyak teman, suka memberi, kaya ide, mudah jatuh cinta, gampang terharu, greget dengan hal-hal yang tidak benar, membela ketidakadilan, sedikit liar tidak bisa dikerangkeng, lompat pagar, dan pura-pura miskin tapi sebenarnya kaya (dalam arti simbolik dan harfiah).

Dan masih banyak lagi!

Kho Ping Hoo (KPH). Nama alias Asmaraman. Legendaris di dunia persilatan-kata. Melalui matafora dan teknik story telling-nyan sing ade lawan.

Baca Dayak Tidak Dari Mana Pun, Melainkan Asli Borneo

Saya mengenalnya sejak SMA, tahun 1980-an. Meski bukan langsung. Saya mengaku, beliau guru silat kata-kata. Bukan guru silat lidah.

Kekuatan kata dan cerita

Hingga saat ini. Nancap kuat dalam ingatan saya. Bagaimana KPH kuat dalam metafora. Ada jurus pamungkas di kisahan silat yang diciptanya. Yang bagi saya amat sangat hidup di dalam the Theatre of mind.

Begitu keunggulan dari kata-kata! Kita bisa mengembangkan sendiri imajinasi berdasarkan kata yang didiksikan si pengarang.

Pembaca mengembangkan seperti apa, meneruskan imajinasi pengarang. Tidak terbatas. Beda dengan gambar atau visual pada umumnya. Yang dibatasi pembuatnya. Susunan kata-kata sungguh sangat hidup dan imaginatif. Dibaca lagi dan lagi setelah itu. Bisa beda!

Itulah yang kemudian, setelah jadi dosen mata kuliah Creative Writing, saya baru mengerti kata-kata ini: Pengarang mulai cerita. Pembaca meneruskannya!

Baca Cornelis Peringatkan Para Ketua Adat Di Pahauman: Jangan Gadai Tanahmu!

Kadang, sesuatu, atau kata-kata orang bijak dan cerdik-cendekia. Baru dimengerti setelah kita mengalaminya. Tidak dipahami kontan pada saat itu juga. “O… itu maksudnya?”

Itulah kekuatan kata-kata. Dan juga buku. Yang tidak mungkin diganti media lain!

Api menjilat daun kering.

Setan menadah persembahan.

Tak kan bisa kulupa jurus-silat yang dimetaforakan Kho Ping Hoo. Benar-benar hidup. Sekaligus, imaginatif.

Dia sejatinya seorang pendekar saktimandraguna. Hanya saja disamarkannya, orang tidak tahu. Yang digunakannya hanya untuk keBAIKan saja.

Kemaren saya bertemu dan berbincang dengan seorang penggila Kho Ping Hoo. Hingga lupa waktu. Dan kami ada ada saja yang dibicarakan.

Mulai dari hal konyol, kehidupan sehari-hari, menertawai diri-sendiri, hingga yang –sebenarnya– tingkat dewa, sudah masuk ranah epistemologi. Sampai diingatkan: Mall sudah tutup, baru kami meninggalkan meja diskusi itu.

Mana ada seorang pendekar suka membagi kamar dengan kutu buku yang tentu akan menjemukan dan bicaranya tentu soal kitab-kitab dan sajak belaka?

Kho Ping Hoo dalam “Suling Emas”

Ini sebuah trik menulis luar biasa, the art of story telling, yang tidak mudah ditebak, namanya dalam teori penulisan kreatif: surprise ending.

Ternyata, dia yang halus dan haus buku, menang dalam pertarungan melawan pendekar jelita Liu Lu Sian dan wajib menurunkan ilmu sastra, juga jurus mautnya yang hanya diguna untuk kebaikan saja. Kutubuku, alias bibliofili pendekar sakti mandraguna itu: Kwee Seng.

Itulah bacaan-bacaan saya. Asmaraman mengajarkan bagaimana membuat metafora, senantiasa ada apa yang disebut “fore shadowing”. Sedemikian rupa, sehingga tokoh atau peristiwa tidak muncul tiba-tiba.

Belakangan, saya mafhum namanya “lanjaran” dalam khasanah penulisan kreatif dan itulah dalam bahasa internasional. Novel klasik mengajarkan bagaimana membuat novel secara kronologis dan tematis. Sedangkan puisi membuat kata jadi hidup dan indah.

Itulah pula apa yang disebut proses kreatif yang oleh Blair (2005) disebut “read and emulate great writings” –membaca dan mengemulasi mahakarya. Kreatif meniru tetapi tidak plagiat atau nyontek.

Kho Ping Hoo, My Idol

Sudah biasa, setiap orang punya idola. Yang saya tahu, bahkan pesepaksola hebat seperti Steven Gerard -dalam autobiogarfinya– menyebut Daglish dan Scholes idolanya.

Never measure the height of a mountain until you have reached the top. Then you will see how low it was.

Siapa penulis idola saya? Di luar negeri, tokoh semiotika dan penulis novel yang kemudian diekranisasikan NAME OF THE ROSE bernama Umberto Ecco. Di Indonesia, Mira Wijaya dan Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo.

Baca Daud Yordan: Dari Ring Tinju Ke Ring Pertarungan Merebut Tiket Anggota DPD Kalimantan Barat

Kho Ping Hoo tercatat pengarang profesional, hanya mengandalkan hidup dan asap dapur dari menulis. Tercatat 111 judul cerita silat ditulisnya yang menapasi kehidupan CV GEMA – Mertokusuman, Solo hingga kini.

Saya pun ingin sperti KPH: menghidupi sebuah studio (diriku dan sanak keluarga) dengan karya-karya kreasiku. “…pada suatu senja, di kala angin pengantar malam tengah sibuk mengatur mega….” sebuah puisi naratif –rasanya aku banget!

Di atas langit ada langit! Saya baru 137 buku dan 4.000 artikel yang sudah dimuat media nasional/ internasional. Tapi KPH telah menulis lebih banyak buku. Ditambah Buku Kehidupan yang menghidupi banyak orang.

Tepatlah “Never measure the height of a mountain until you have reached the top. Then you will see how low it was.”

Jangan sekali-kali mengukur ketinggian sebongkah gunung, sebelum Anda meraih puncaknya.

Begitu kata mustajab dari Dag Hammarskjöld. Pria kelahiran Swedia. Peraih Nobel Perdamaian. Juga Sekjen PBB yang ke-2.

Kata-kata sarat makna. Terutama dalam dunia persilatan.

  • Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar
Cancel