Dayak

Dajak, Hogendorph, David Jenkins, Carl Bock, Dayak literate, binnenander, askripsi

Penampakan orang Dayak hari ini: bangga dengan adat budaya, seni, tradisi, dan atributnya.

Dayak Dahulu dan Kini: Dari Kutuk Menjadi Berkat.
Tadinya demikian judul narasi ini. Sebab begitulah salah satu "ilmu" bagaimana membuat judul narasi yang memikat: mengambil saripati sebuah tulisan!

Namun, karena kepanjangan. Lagi pula teknik menulis era digital beda dengan zaman analog, maka singkat saja judulnya. Hal itu agar dengan mudah terindeks Google. Lalu ia muncul paling atas pada mesin pencarian otomatis.

Di masa yang lampau, Dayak adalah labeling. Tepatnya: askripsi. Dari Labeling menjadi identitas yang pada hari ini berubah menjadi "berkat". 

Mengapa? Sebab ternyata "Dajak" sebagai padanan bahasa Belanda "binnenander" (Hogendorph, 1757) menggambarkan suatu komunitas, penduduk asli Borneo, yang tinggal di daratan --untuk memilahnya dengan para pendatang yang bermukim di pesisir.

Perkampungan orang Dayak hari ini di Long Bawan, Kalimantan Utara: bersih, indah, rapi, terawat, dan hijau. Dayak bangga menjadi diri-sendiri.

Dahulu kala, sebelum Dayak berdaulat, orang malu mengaku atau jika disebut "Dayak". Hari ini malah sebaliknya: bangga. Namun, pembalikan dari kutuk menjadi berkat ini tidak tiba-tiba. Ia bukan hadiah. Melainkan suatu perjuangan.

Salah satunya adalah perjuangan melalui politik, ekonomi, pendidikan, selain melalui budaya dan literasi. Dahulu kala, minim orang Dayak melek huruf. Apalagi menulis. Hari ini, orang Dayak telah literate. Bahkan banyak orang Dayak yang memiliki dan punya media baik cetak maupun digital.

Banyak penulis. Senarai penulis dan sastrawan Dayak dapat dilihat di Wikipedia.

Mari sejenak meno;eh ke masa lampau. Bagaimana mipersepsi dan stereotipe serba-minor Dayak terbentuk yang berikut ini.

David Jenkins dan Guy Sacerdoty dalam Far Eastern Economic Review (1978) menggambarkan orang Dayak sebagai: the legendary wild man of Borneo (Manusia Borneo yang legendaris). 

Sementara itu, Jan Ave dan Victor King (1985) melukiskan penuduk asli Borneo itu sebagai: the people of the weaving forest (orang dari hutan yang meratap). Di tempat lain, Carl Bock, seorang naturalis dan penjelajah asal Norwegia, melabeli orang Dayak sebagai: head hunters of Borneo (1881).  

Dayak dalam proses berdaulat di negerinya sendiri. Berdaulat di bidang budaya, ekonomi, dan politik.  
 Kita dapat melabeli orang Dayak masa kini dengan: manusia penghuni pulau yang diciptakan Tuhan sambil tersenyum, indah pada waktunya, terdesak ke darat ketika sungai-sungai dan pesisir jadi pusat kebudayaan dan ekonomi di masa kerajaan, dan di masa perkebunan dan pertambangan menjadi kaya berkat label, tepatnya saya menyebut "askripsi" sebagai: darat, udik, orang ulu, binnenlander; dan berbagai askripsi masa lalu yang minor namun kini jadi berkat.

Andaikata  jika di masa lalu, orang Dayak tidak bermukim di darat, mana ada mereka punya tanah warisan --termasuk tanah adat-- begitu melimpah? Minimal, sebuah keluarga Dayak –hampir di setiap kampung-- punya 2 hektar tanah!

Siapa sangka tiada yang menduga. Bahwa labeling “Dayak” sebagai orang tinggal di daratan, orang udik, sidak darat, orang kampung, jauh dari pesisir; pada gilirannya menjadi berkat. 

Tatkala urat nadi dan pusat transportasi, perdagangan, dan lalu lintas komunikasi berpindah dari sungai ke darat, era 1990-an, orang Dayak menikmati perubahan itu. Mereka punya tanah, lahan, dan hutan yang mendatangkan nilai ekonomi. Tetapi tempo doeeloe, yang kini berkat adalah kutuk. Manusia Dayak dianggap dina, derajadnya “jongos”, dan di berbagai toko-toko milik orang Cina mereka pekerja kasar, dan disebut kerani, atau swakang. Pekerja kotor dan dekil, serabutan, dan koeli saja.

Dahulu kala, Dayak dipandang sebagai suku primitif. Itu dulu! Kini mereka telah maju dalam banyak hal sebagaimana etnis lainnya. Bahkan dalam bidang tertentu, Dayak berada di muka --dalam hal kepemilikan lahan misalnya. Jumlah populasi Dayak pun semakin banyak karena sejak 1894 telah dihentikan praktik kayau di Tumbang Anoi. 
Baca Tumbang Anoi Dan Suasana Pertemuan 22 Mei- Juli 1894

Populasi Dayak sedunia saat ini bilangannya sirka 8.000.000 jiwa. Dayak terbagi dalam 6 stammenras (rumpun besar), terbanyak populasi Dayak adalah rumpun Iban sekitar 1,2 juta jiwa. Jika saja program KB yang dilancarkan secara kurang kritis di Kalimantan yang penduduknya masih sangat sedikit, dan sangat tidak pas, maka populasi Dayak niscaya bukan "hanya" 8 juta jiwa. Belakangan baru disadari bahwa Program KB hanyalah taktik secara lambat laun untuk menguasai pulau Kalimantan dan menempatkan penduduknya semakin marjinal. Ada kabupaten tertentu, bahkan provinsi, di Kalimantan yang populasi penduknya jauh lebih banyak pendatang daripada penduduk asli.

Merunut kepada hasil penelitian, Dayak adalah pemangku dan pewaris sah Kalimantan, pulau terbesar ke-3 dunia. Mereka tidak dari mana pun. Tapi sejak semula jadi, menurut orang Iban, telah ada di sini dan di tempat ini. Sehingga dalam bahasa Iban, "Sejak jaman semula jadi". Gua Niah (Miri) adalah buktinya di mana uji karbon membuktikan bahwa telah ada manusia di Niah sejak 40.000 tahun lalu di mana saat ini ditinggali orang Iban.

Dayak hari ini dalam proses berdaulat di negerinya sendiri. Berdaulat di bidang budaya, ekonomi, dan politik. 

Daulat yang menjadi semboyan sekaligus tekad Patih Jaga Pati.
Baca Gelegar Sumpah Patih Wilyo
LihatTutupKomentar
Cancel