Surat Keterangan Tanah (SKT) Orang Dayak: Tanaman Buah dan Karet

Surat Keterangan Tanah, SKT, Dayak, Gua Niah, Miri, Sarawak, tanah adat

SKT orang Dayak: tanaman buah dan karet di lahan dan batas lahan miliknya.

PATIH JAGA PATI : Tatanan masyarakat Dayak di Borneo telah mengakar dalam konsep yang sangat melekat pada keberlanjutan dan keseimbangan alam. 

Tanah Adat, yang pada awalnya muncul sebagai hasil dari interaksi manusia dengan alam, menjadi warisan yang tak ternilai bagi pewaris sah, yaitu masyarakat Dayak.

Baca Penduduk Asli Kalimantan: Makmurlah Dengan Sawit!

Dalam perspektif sejarah, Dayak adalah orang pribumi Borneo, yang secara tidak diragukan lagi telah menetap di pulau ini sejak zaman prasejarah. 

Temuan ilmiah yang dilakukan oleh Muzium Sarawak bersama Inggris menegaskan bahwa keberadaan manusia di Gua Niah, wilayah Miri, Sarawak, sudah terjadi sejak 40.000 tahun yang lalu. 

Inilah salah satu bukti ilmiah. Yang mengukuhkan status Dayak sebagai "indigenous people of Borneo."

Dayak Pewaris Dan Pemangku Pulau Borneo

Pentingnya Tanah Adat dalam kultur Dayak tidak bisa diabaikan. Sejak zaman dahulu kala, mereka hidup berdampingan dengan alam, mempraktikkan tradisi berladang sebagai cara alamiah untuk mencari nafkah.

Meskipun zaman dulu belum ada SURAT KETERANGAN TANAH (SKT) atau Sertifikat Tanah, nilai keberlanjutan ini terwujud melalui tanaman buah, karet, tengkawang, kelapa, atau apa pun yang tumbuh di tanah yang pernah dijamah manusia.

Konsep sederhana ini berkembang menjadi sistem yang begitu kaya dan mendalam. Siapa yang membuka lahan, dialah yang memiliki lahan itu. Begitulah setiap petak tanah memiliki pemilik yang sah, seorang pemangku tanah dan bumi.

Baca Krayan: Sepotong Surga Yang Jatuh Ke Bumi

Lahirnya Tanah Adat Borneo tidak terlepas dari transformasi alami. Lahan-lahan pertanian yang ditinggalkan menjadi bagian dari pewarisan. langkau, huma, bawas, pelaman, kampung, hingga tembawang, setiap jejak peradaban manusia meninggalkan jejak yang tak ternilai harganya. 

Meskipun saat itu belum ada SURAT KETERANGAN TANAH (SKT) atau Sertifikat Tanah, nilai keberlanjutan ini terwujud melalui tanaman buah, karet, kelapa, atau apa pun yang tumbuh di tanah yang pernah dijamah manusia.

Baca Manusia Dayak Dan Kawasan Hijau Borneo

Tentu saja, pandangan ini terasa begitu meyakinkan karena bukan hanya berdasarkan kepercayaan dan tradisi semata. 

Temuan arkeologis, seperti Gua Niah, memberikan dasar ilmiah yang kuat untuk memahami bahwa Dayak bukan hanya penduduk, melainkan pewaris sah tanah dan bumi Borneo.

Maka, dalam keberlanjutan dan keadilan, penting untuk mengakui dan menghormati hak pewaris sah ini. 

Tanah Adat Borneo adalah hasil dari harmoni antara manusia dan alam, sebuah warisan tak ternilai yang telah berlangsung ribuan tahun lamanya.

Bukti hidup kepemilikan tanah orang Dayak
Jangan melihat fisik yang tampak luarnya saja. Jika di Kalimantan ada wilayah atau tanah kosong dikira tidak ada yang punya, ada! 

Tanaman buah dan karet adalah semacam petanda, atau SKT alami orang Dayak, bukti hidup atas kepemilikan tanah tersebut.

Di sinilah duduk perkaranya. Banyak orang di luar komunitas Dayak tidak memahami makna simbol ini. Dikira jika ada "tanah kosong" di Kalimantan adalah tanah tak bertuan. 

Tidak demikian! Tanah itu telah dimeteraikan dengan tanaman buah dan pohon karet.

Jadi, harap kebiasaan dan simbol orang Dayak ini dipahami. Sekaligus dihargai sebagai kearifan lokal. Sekaligus bukti kepemilikan tanah. Suatu tradisi yang telah berlangsung turun-temurun, dari generasi ke generasi.

Kurang pemahaman, terutama jika disertai dengan pengabaian terhadap hak kepemilikan tanah warisan, wilayah adat, dan hutan adat, seringkali menjadi akar permasalahan yang memicu konflik antara masyarakat adat dan pihak lain. Ini bukan hanya menciptakan ketegangan sosial, tetapi juga berpotensi memicu kerusuhan yang melibatkan massa yang lebih luas.

Prinsip "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung" merupakan hukum universal yang seharusnya dihormati oleh semua pihak. Artinya, penghargaan terhadap tanah, warisan budaya, dan lingkungan alam harus menjadi pijakan utama dalam setiap kebijakan atau tindakan. 

Ketidakpahaman atau pengabaian terhadap prinsip ini dapat membuka pintu bagi konflik yang merugikan dan merusak hubungan antara kelompok masyarakat adat dan pihak lain.

Oleh karena itu, perlu adanya upaya lebih lanjut untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai pentingnya menghormati hak kepemilikan tanah tradisional dan menjaga keberlanjutan lingkungan adat. Ini dapat dilakukan melalui pendidikan, dialog, dan partisipasi aktif semua pihak terkait. 

Hanya dengan mengakui dan menghormati hak masyarakat adat serta nilai-nilai lingkungan, kita dapat menciptakan kerja sama yang harmonis dan menghindari potensi konflik yang merugikan bagi semua pihak.

 (Rangkaya Bada)

LihatTutupKomentar
Cancel