Siapa yang Merusak Hutan Kalimantan?

hutan, Kalbar, rusak, perusahaan, tambang
Penambangan alam dan kerusakan lingkungan di Kalimantan oleh pendatang dan perusaahan besar.

PATIH JAGA PATI : Siapa yang merusak hutan Kalimantan? Ya, siapa?

Yang pasti, bukan penduduk asli. Mengapa? Mana mungkin, selama berabad, bahkan ribuan tahun lamanya. Penduduk setempat merusak periuk nasi dan membakar rumahnya. Nonsense!

Lalu siapa?

Baca Manusia Dayak Dan Kawasan Hijau Borneo

Tak syak lagi. Pasti faktor luar. Salah satu faktor pemicu kerusuhan antar-etnis di Kalimantan Barat (Kalbar) yang berkali terjadi sejak tahun 1996 adalah pengelolaan hutan dan lahan pertanian yang tidak adil di Kalimantan Barat. 

Penduduk asli menjaga dan memelihara

Dayak, yang sering disebut sebagai "penduduk asli," pemangku, dan pewaris Borneo, pulau terbesar ke-3 di dunia yang luasnya 743.330 km², berperan penting dalam sejarah dan keberlanjutan lingkungan di wilayah ini. 

Sebelum pembentukan negara, masyarakat Dayak yang pada ketika ini populasinya lebih dari 8 juta jiwa, telah memangku tanah dan bumi sebagai tanah tumpah darah mereka. Pandangan logisnya adalah bahwa sebelum kedatangan pendatang, Borneo memancarkan keindahan alam dan merawat ekosistemnya dengan cermat, menjaga keseimbangan lingkungan.

Ketika ekosistem ini mengalami kerusakan, penyebab utamanya seringkali dapat ditelusuri pada tindakan manusia, terutama pendatang, perusahaan, dan penambang. 

Dayak tidak hanya menyandang gelar sebagai "penduduk asli," tetapi juga sebagai penjaga alam dan pemelihara tradisi-tradisi yang menghormati hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan.

Dalam proses sejarah, ketika Borneo mulai dikenal sebagai tujuan eksploitasi sumber daya alam, masyarakat Dayak sering kali menjadi saksi perubahan dramatis. Kehadiran pendatang dan perusahaan seringkali membawa dampak negatif terhadap ekosistem Borneo, merusak keindahan alam dan mengancam keberlanjutan lingkungan.

Dayak sebagai pemangku dan pewaris Borneo terus berjuang untuk mempertahankan nilai-nilai keberlanjutan dan keseimbangan ekologis. Mereka berusaha membangun kesadaran tentang pentingnya melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Upaya ini melibatkan pelestarian hutan, perlindungan satwa liar, dan pengembangan sumber daya secara berkelanjutan.

Eksploitasi hutan Borneo oleh orang luar dan perusahaan

Pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam menjadi fokus utama bagi masyarakat Dayak. Mereka berkomitmen untuk melibatkan pendatang, perusahaan, dan penambang dalam upaya pelestarian, membangun kerja sama yang berkelanjutan untuk melestarikan keindahan alam Borneo bagi generasi mendatang. Dengan demikian, Dayak tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga pelaku aktif dalam membangun masa depan yang berkelanjutan untuk pulau terbesar ketiga di dunia ini.

Bagi banyak orang, situasi kerusakan lingkungan dan deforestasi Borneo terasa tak masuk akal. Bagaimana bisa pengelolaan hutan Kalimantan tiba-tiba menjadi sumber ketidakpuasan, dan siapa yang harus disalahkan?

Tidak peduli kita suka atau tidak, inilah kenyataan yang harus kita hadapi. 

Eksploitasi hutan Borneo telah mencapai titik kritis. Faktanya, lebih dari 30% dari Kalimantan Barat, setara dengan 146.700 km2 lahan, telah menjadi gersang akibat penebangan yang berlebihan.

Salah satu masalah utama dalam pengelolaan hutan Kalimantan adalah adanya persepsi "ketidakadilan" dalam sistem ini. 

Di satu sisi, pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menebang kayu besar maupun kecil, sedangkan di sisi lain, penduduk setempat yang mengandalkan kayu untuk keperluan rumah tangga dianggap sebagai pencuri. Ya, mereka dianggap pencuri di rumah mereka sendiri!

HPH masuk, hutan Kalimantan mulai rusak

Masuknya HPH ke dalam hutan Kalimantan dimulai dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Ini dibenarkan dengan gagasan bahwa pengelolaan hutan akan memberikan manfaat bagi penduduk setempat, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 5/1967 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1976 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Pemanenan Hasil Hutan.

Baca Surat Keterangan Tanah (SKT) Orang Dayak: Tanaman Buah Dan Karet

Seperti yang dicatat oleh Walhi, konsesi konservasi meningkat secara drastis dalam dua dekade terakhir. Pada tahun 1968, misalnya, hanya ada 25 konsesi kayu, tetapi jumlah ini meningkat menjadi 574 pada tahun 1990. 

Pada saat yang sama, produksi kayu juga mengalami peningkatan tajam, dengan kayu yang ditebang meningkat dari 6 juta meter kubik pada tahun 1967 menjadi 31 juta meter kubik per tahun pada tahun 1990. Keberhasilan industri ini tercermin dalam pendapatan devisa dari ekspor kayu yang melonjak dari $3 juta pada tahun 1960 menjadi $300 juta pada tahun 1988.

Tak lama setelah peluncuran konsesi-konsesi ini, Kalbar menyaksikan kedatangan paket PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan HTI (Hutan Tanaman Industri). 

Paket-paket ini disambut baik oleh banyak pihak, terutama investor, yang tahu bahwa proyek-proyek ini akan segera menghasilkan keuntungan. Dengan dalih "membantu masyarakat miskin," investor berhasil meyakinkan penduduk setempat untuk melepaskan hak kepemilikan lahan mereka.

Pendekatan yang digunakan oleh investor cukup meyakinkan. Awalnya, mereka membuka jalan, memberi kompensasi kepada penduduk setempat atas tanah mereka, dan mempekerjakan warga lokal dengan upah minimum.

Siapa sebenarnya merusak alam dan melakukan deforestasi Kalimantan? Bukan penduduk asli. Tapi perusahaan dan para penambang.Efek rembesan ke bawah, kadang hanya jargon untuk menghibur.

Baca Samuel Oton Sidin| Uskup Sintang Peraih Kalpataru

Penelitian yang dilakukan oleh Syarief Ihrahim Alqadrie dari Universitas Tanjungpura, Pontianak (1996), mengungkapkan bahwa di lokasi HTI di Sanggau Kapuas, penduduk setempat yang bekerja di sana terdiri dari para pengawas proyek yang berpangkat paling tinggi. 

Tidak ada manajer, apalagi direktur di perusahan-prusahaan yang beroperasi di Kalimantan Barat adalah orang setempat.  Padahal orang luar yang mencari makan dan kekayaan di buminya. Sungguh tragis!

Sayangnya, pemetaan hutan yang sering dilakukan untuk PIR dan HTI mengabaikan fakta bahwa area tersebut adalah tanah adat penduduk setempat, sehingga menyebabkan konflik kepentingan antara pengelola hutan dan penduduk setempat. 

Penduduk asli menuntut hak, malah dikriminalisasi

Ketika penduduk menuntut hak-hak mereka, malah dikriminalisasi. Banyak contohnya. Penduduk berladang, ditangkapi, dan dimasaukkan bui di Sintang. Mereka dianggap sebagai hambatan bagi pembangunan, dan penduduk setempat dengan tidak adil dicap sebagai orang yang tidak paham hukum.

Untuk itulah orang Dayak, penduduk setempat pewaris tanah Borneo, harus melek politik. 

Agaknya, Lasarus perlu turun tangan. Atau membentuk tim pendampingan dan advokasi bagi penduduk asli yang dimarjinalkan, atau sengaja dimanipulasi dengan tujuan menguasa.

Baca Aron, Jalan Lempang Bupati Sekadau Dan Kepeduliannya Pada IPM

Memicu konflik sosial

Tak heran banyak konflik dan kerusuhan pecah antara pengusaha dan penduduk setempat hutan Kalimantan Barat. 

Contohnya adalah kasus Jekak di Ketapang (1994), di mana terjadi konflik antara pemegang konsesi dengan penduduk atas tanah, dan pengusiran kayu ilegal di Sengah Temila, Kabupaten Pontianak. Konflik serupa juga terjadi dalam proyek-proyek pertambangan dan penambangan emas.

Masalah pengelolaan hutan yang tidak adil ini kemungkinan akan terus berlanjut. Masalah ini diperparah oleh kenyataan bahwa Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO 169 tentang Bangsa-Bangsa dan Suku Asli dalam Negara-Negara Merdeka, yang diterbitkan pada 27 Juni 1989.

Di sisi lain, masyarakat adat Dayak Kalimantan memiliki beragam pola kepemilikan hutan. 

Akibatnya, muncul resistensi terhadap ketidakadilan dan sewenang-wenang, sebagai usaha penduduk setempat untuk membela diri, sejalan dengan motto Dayak: "Jangankan manusia. Anjing saja diinjak ekornya, akan menggigit!"

Konflik atas penguasaan lahan milik penduduk

Lagi pula, kadang pendatang mula-mula baik-baik. Lama-lama keluar aslinya. Terjadi konflik karena penguasaan lahan. Filosofi "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, kerap lupa diterapkan manakala sudah merasa diri hebat.

Jadi, para penghancur hutan Kalimantan bukanlah penduduk asli (yang tidak akan pernah membakar dapur mereka sendiri), melainkan para pengusaha hutan, penambang liar, dan investor serakah.

Jadi siapa sebenarnya merusak alam dan melakukan deforestasi Kalimantan? Bukan penduduk asli. Tapi perusahaan dan para penambang.

Efek rembesan ke bawah, kadang hanya jargon untuk menghibur. 

(Rumah Kencana)

LihatTutupKomentar
Cancel